Hadiah Terindah

Waktu menunjukkan pukul 08.30 Wib, kulirik jam dinding sontak terkaget, "Aku telat!" Kusambar handuk dan bergegas ke kamar mandi. Selesai mandi tanpa sarapan kunyalakan motor matic lantas melaju kencang membelah jalan dan seketika sampai di kantor.

"Kamu telat lagi, Mar? Kalau begini terus bagaimana bisa saya mempertahankan kamu untuk bekerja di perusahaan ini, Kami membutuhkan karyawan yang disiplin!" Entah sudah keberapa kali atasan menegurku, setiba di kantor, tanpa babibu atasan langsung memanggil keruangannya dan saat itu aku hanya bisa merunduk.

Terlambat, kata yang tak asing dan itu sudah menjadi ciri khas dalam keseharianku. Selalu telat bukan karena malas bangun, bukan itu! Saat jam kantor usai, tepatnya pukul 17.00 wib. Aku harus bekerja di toko roti sampai jam sepuluh malam. Dan di tengah malam aku membuat kue untuk dijual ke pasar esok harinya.

Bukan aku tak sayang badan hingga memaksakan tubuh untuk bekerja keras begini, tetapi karena aku harus mempertahankan hak asuh anak yang telah diambil alih oleh mantan suami. Karena minimnya perekonomianku, mereka tidak yakin apakah aku bisa merawat Nia, anakku. Apakah kelak, aku bisa menjadikan Nia seorang anak yang sukses dan bisa membanggakan orang tuanya. Aku yakin pasti bisa.

Pernah mantan ibu mertua mengatakan, "Bagaimana bisa kamu mengasuh Nia, jika kehidupanmu seperti ini! Kalau begini hanya air putih yang bisa kamu berikan kepadanya." Kata-kata itu menohok tepat di dasar hatiku. Dan aku berjanji akan membuktikan kepada mereka bahwa aku bisa menjadikan Nia anak yang membanggakan.

Aku hanya bisa berharap agar Allah memperkenankan doaku. Karena selain untuk mengambil hak asuh anak di pengadilan nanti. Aku juga membiayai kebutuhan ibu serta adik-adik yang masih sekolah di kampung.

Sebenarnya aku butuh kekuatan untuk menghadapi semua ini, tetapi aku tidak putus asa karena ada Allah bersamaku. hingga suatu saat kuberharap saat pulang kerja nanti ada yang menyambut kedatanganku dengan pelukan dan ciuman yang dari kejauhan dia akan berteriak memanggil, "Mama."

Waktu terus berjalan, adik-adik mulai dewasa. Eko, adik tertua berhasil menjadi manager di perusahaan swasta dan dia ikut membantu keperluan ibu. Sedikit demi sedikit beban di pundak mulai berkurang.

Aku harus fokus ketujuan awal; merebut hak asuh anak. Tak hentinya kuberdoa agar Allah mempermudah jalanku.
--
"Terima kasih untuk orang yang sangat berharga dalam hidupku. Tanpanya mungkin aku tidak bisa seperti ini, terima kasih, Ma! Atas perjuangan Mama selama ini. Nia sayang Mama." Tanpa terasa bulir halus telah jatuh membasahi pipi keriput ini. Itulah sepenggal pidato singkat kelulusan Nia anakku, yang sekarang telah berhasil meraih gelar dokter peringkat terbaik di kampusnya. Pada akhirnya aku merasa, Allah telah mendengar doaku.

#RNue
#ODOP_Batch3

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Met Milad Kak Rita

Aku yang Bukan Aku

Cinta Tak Harus Memiliki