Gadis Bayangan

Langit senja mulai menyapa, megahnya mentari telah jatuh di ufuk barat. Dua belas jam perjalanan, akhirnya sampai juga di villa perusahaan.

Lelah, itu yang kurasakan. "Penelitian kali ini harus berhasil," gumamku berjalan menuju kamar yang telah disediakan.

Kurebahkan tubuh yang sedari tadi ingin dimanjakan. Mataku tertuju ke luar jendela, mengapa ada gadis duduk sendirian di tepi danau? Kualihkan pandangan ke jam dinding, sudah jam sembilan malam. Aku penasaran dan menghampirinya.

"Hai ... kenapa duduk sendirian?" tanyaku setelah sampai di dekatnya.

Dia terkejut dan menjawab, "Aku ingin merasakan kesejukkan angin malam dari danau ini."

"Boleh kutemani?"

"Silakan," jawabnya tersenyum.

Aku pun duduk di sebelahnya. Rasa lelah yang menyerang tubuh seketika hilang. Mata ini tak lepas menatapnya. Gadis ini, seperti bukan gadis desa biasa. Matanya coklat bening, rambutnya pirang, dia sangat manis. Ada perasaan aneh mulai menggerogoti hati. Mungkinkah aku menyukainya?

"Sudah jam sepuluh, kamu tidak pulang?" tanyaku   memecah keheningan. "Sudah malam, ayo saya antar!"

"Baiklah," ucapnya lalu beranjak dan pergi mendahuluiku.

Pagi menjelang, aku bersiap untuk mengadakan penelitian. Saat Matahari merangkak naik ke kaki timur. Aku bertemu lagi dengannya, "Hai, mau kemana?" tanyaku.

"Ke pasar," jawabnya.

"Oke sampai jumpa." Aku tersenyum dan melambaikan tangan lantas bergegas ke kebun teh. Dia pun tersenyum dan memandang kaku.

Setelah perkenalan dengan gadis itu aku merasa nyaman. Setiap malam kami selalu bertemu di danau, dan tak terasa kami semakin dekat.

Marissa Hamilton gadis blasteran Indonesia-Belanda, sangat menyukai ketenangan. Duduk di tepi danau adalah kesukaanya. Aku baru tahu dengan duduk di danau ini, dia bisa merasakan masa depan yang sangat menyenangkan. Masa depan yang sangat ingin dia gapai, begitulah katanya.

Penelitian di desa ini telah selesai. Saatnya aku pulang ke Jakarta. Di pertemuan terakhir dengan Marissa, aku berjanji kepadanya akan datang untuk melamarnya.

Tiga bulan berlalu, waktu yang dinanti telah datang. Aku tak sabar ingin bertemu Marissa. Semua persiapan telah selesai, janjiku kepadanya akan segera terwujud. Kami sekeluarga pergi ke desa wonosobo, untuk melamar gadis pujaanku. Tidak sabar rasanya ingin segera mempersunting si mata coklat bening.

Rombongan kami telah tiba di depan sebuah rumah bearsitektur Belanda. Rumah yang setiap malam kuhantarkan Marissa pulang.  Aku tak pernah masuk ke rumah ini, karena Marissa melarangnya, katanya sudah terlalu malam. Dan aku mengantarkan hanya sampai di depan gerbang saja.

Seorang kakek membuka pintu, dan menanyakan tujuanku datang ke rumahnya. Pandanganku seakan buram. Dia menceritakan segalanya.

"Marissa adalah adik Ibu saya, saat mereka berdua bermain di tepi danau, Marissa tenggelam dan jasadnya tidak ditemukan. Kau lihat! Inilah foto keluarga besar kami."

Kakek itu menunjuk sebuah pigura yang sangat besar. Ada dua anak perempuan berambut pirang yang saling merangkul dan tersenyum ceria. Salah satunya bermata coklat bening. Gadis itulah yang aku kenal di danau. Gadis pirang, bermata coklat bening itu, Marissa!

Aku terkejut tidak percaya. Hati yang kutata sirnalah sudah. Ternyata hubungan kami hanya fatamorgana. Marissa, gadis pirang bermata bening hanyalah ilusi dan bayangan saja. Bulir halus mulai membasahi netra.

'Dion, mungkin dia bukan jodohmu,' ucapku lirih dalam pelukan mama.

#RNue
#ODOP_Batch3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Met Milad Kak Rita

Aku yang Bukan Aku

Cinta Tak Harus Memiliki