Saat Cinta Tersembunyi


"Bagaimana menurutmu, oke nggak?" Karin menyodorkan selembar kertas berisi biodata dan sebuah foto ukuran postcard.

"Muhammad Asrul Ramadhan, Sastra UI, memiliki sanggar yang sudah berkembang diberbagai kota. Tingginya 170cm, beratnya 65kg, anak pertama dari delapan bersaudara, usia 30 tahun dan hmm...."

Olil Lia meneliti foto seorang pria berkulit putih dengan tubuh atletis. Dia berpikir serius, mengamati, menimbang dan memutuskan.

"Oke nih, Kar. Kayaknya cocok deh sama kamu, udaaah ... jangan kebanyakkan milih. Tinggal diistikharain aja," ujar olil mengabaikan ekspresi Karin yang keliatan ragu.

"Iya sih, keren, lulusan UI, mapan, ganteng, ehm... Tapi .... " Karin menggantung ucapannya. Jemarinya sibuk mengaduk-aduk jus alpukat yang mulai mencair.

"Apa lagi, Miss perfect? Plis deh, ini adalah pria kesepuluh yang kamu tolak selama tujuh bulan terakhir ini. Apa sih yang kamu pikirkan, apa sih yang kamu cari, Kar?" ucap Olil kesal.

Olil mulai kecewa dengan sikap Karin yang menganggap semuanya mudah apalagi untuk mendapatkan pendamping hidup. Sebenarnya apa yang ada dibenak Karin. Begitu banyak lelaki yang datang ingin melamarnya tapi tak satu pun ia terima. Bahkan lelaki yang cukup dikatakan sempurna pun dia tolak.

Sementara Olil, lima tahun berlalu dari targetnya menikah, belum seorang pun yang melirik apalagi melamarnya.

"Lil, Olil ... lah, kok malah bengong, lagi meratapi nasib ya?" Karin tersenyum ngeledek. Tangan kanannya masih menari-nari di lingkaran gelas jus alpukat.

"Dasar kamu ya, tau aja pikiran orang," ucap Olil  jengkel.

"Iya dong, kita kan soulmate." Karin menatap Olil hangat.

Olil tahu, Karin sangat sayang padanya. Sejak mereka sama-sama memutuskan untuk berhijab syari, jalinan ukhuwah diantara keduanya semakin kental.

"Kar, apa sih yang salah dengan Asrul? Sehingga kamu ragu untuk melanjutkan proses ini."

"Semua oke, Lil. Tapi ... ah sudahlah, kamu pasti marah lagi kalo aku bilang alasannya."

"Gaklah! Itu kan hak kamu, emang kenapa sih?" tanya Olil penasaran.

"Janji ya jangan marah, ehm ... adiknya terlalu banyak, Lil. Ntar aku gak kebagian perhatianlah," ucap Karin enteng sambil menyeruput jus alpukat yang dari tadi teraniaya.

"Kariiin ... dasar ya!" Kedua mata Olil mendelik sebesar bola bowling. Tangannya siap mendaratkan tinju ke lengan Karin. Olil menggeram melihat alasan Karin yang terlalu basi menurutnya.

Mereka sahabat yang sangat dekat bahkan memutuskan berhijab syar'i pun, dilakukan bersama-sama. Tapi kalau berpikir tentang lelaki mereka tak pernah sependapat. Olil yang selalu menerima apa adanya sementara Karin selalu menginginkan kesempurnaan.

"Besok hari jum'at, temani aku menghadiri seminar yuk?!" ajak Karin mengalihkan pembicaraan.

"Seminar tentang apa? Di mana?" tanya Olil, menggulung-gulung spagety dan melahapnya.

"Tentang kiat sukses wanita di usia menengah. Hotel Grand Angkasa, deket kok!"

"Oh, I see ... baiklah, aku akan menemanimu."

Sore itu mendung bergayut manja. Sisa-sisa gerimis romantis membasahi hijab mereka. Setelah Karin mengantar Olil, dia berpesan jangan lupa besok sore harus siap dijemput, harus tepat waktu, jangan sampai menunggu. Begitulah sikapnya yang selalu 'on time'

***

"Kamu tau gak? Kenapa aku hadiri seminar ini?" tanya Karin ketika mereka sudah sampai di lobi hotel.

"Untuk mendapatkan kiat-kiat sukses atau semacamnya," jawab Olil santai.

"Bukan itu kali, tapi pembicaranya adalah seorang pria yang akan dijodohkan kepadaku." Karin membisikkan ke telinga Olil. Hingga tercium aroma mint yang segar dari mulutnya.

"Baiklah, ceritakan kepadaku siapa lelaki yang mengisi acara seminar ini?" tanya Olil antusias.

"Dia sepupunya Mandis Nur Khasanah, kamu ingat gak? Ketika kita bertemu mereka saat menghadiri ceramah Aa' Gym di lapangan Merdeka?" Olil mengernyitkan dahi berusaha mengingat.

"Ya ampun masa lupa sih, itu loh Mandis yang mirip Raisa tapi agak kebule-bulean dan kalau ngomong jawanya medok banget," jelas Karin bersemangat.

"Oh, I see ... waktu itu ada kak Raihana juga ya, kalo gak salah kami pulang duluan karena kak Raihana sakit perut, jadi aku menawarkan diri mengantarnya. Trus sepupunya itu namanya Raffi, bukan?!"

"Seribu buat Olil, tau gak? Saat kalian sudah pulang, ternyata motorku bocor. Jadi aku bingung mau pulang sama siapa, eh mereka mengajakku untuk pulang bersama, kebetulan rumah kami kan searah. Jadilah aku satu mobil dengan dia."

"Kok kamu gak pernah cerita, kalau waktu itu pulang diantar mereka." Suara Olil mulai tercekat, sepotong luka tiba-tiba tergurat.

"Pekerjaan kantor menyita waktu dan pikiranku, jadi aku anggap itu gak penting."

Bagaimana mungkin Karin lupa, saat Olil bercerita kepadanya tentang hatinya yang meluap ketika bertemu dengan Raffi. Tentang pandangan pertama saat lelaki itu menatapnya. Memperkenalkan diri dengan sopan. Raffi benar-benar memukau. Hidungnya mancung sempurna dengan mata hitam pekat dan sangat menghargai perempuan. Tapi ya sudahlah, jodoh di tangan Allah. Biarlah semua berjalan sesuai dengan apa yang digariskan. Mata Olil mulai berembun.

***
Selepas salat maghrib, mereka bersiap memasuki ruang seminar. Sudah banyak orang berkumpul, mereka duduk di kursi bagian tengah. Mungkin Raffi tidak mengetahui mereka datang tapi dari tempat duduk mereka Raffi terlihat dengan sangat jelas.

"Tuh liat, Lil! Raffi bener-bener keren kan?"

Pria gagah berkulit putih, dengan sedikit jenggot dan cambang yang mulai tumbuh itu benar-benar menghipnotis. Hampir semua peserta perempuan terpesona melihat penampilan dan gayanya menyampaikan materi.

"Well, gimana menurutmu, pasti untuk yang satu ini kamu tidak punya alasan untuk menolakkan?" tanya Olil dengan seidkit nada duka tapi tersamarkan oleh senyumnya.

Karin mengangkat bahunya tatapannya lurus ke depan. Sepertinya ia kecewa, apa mungkin ada sikap Raffi yang membuatnya 'ilfeel' entahlah.

"Memangnya yang ini ditolak juga, Kar?" Olil melirik heran ke Karin.

"Sebenarnya sih, oke banget. Angka keseluruhan delapan koma lima, bahkan nyaris sembilan."

"Lalu apa lagi masalahnya, Kariiin?" Olil tak mengerti jalan pikiran sahabatnya.

"Aku suka sama Raffi, cerdas, saleh, ganteng dan mapan."

Tapi ... pasti ada tapinya kan?" tanya Olil kesal.

Karin memalingkan wajah ovalnya ke Olil, tatapannya sendu dan hangat. Digenggamnya tangan Olil dan dia menghela napas.

"Olil, Raffi lebih memilih kamu dari pada aku, waktu kami pulang bersama dia banyak bercerita tentang kamu, dia banyak memujimu. Aku dan Mandis saling pandang sepertinya dia ingin mengenalmu lebih dekat. Dan saat inilah kami ingin mempertemukan kalian. Liat di sebelah sana?" Karin menjulurkan telunjuk kanannya ke kursi paling pojok. Terlihat Mandis dan Raihana melambai-lambai tersenyum.

Netranya mulai berkabut. Dia menatap sendu ke sahabatnya.

"Tapi, bagaimana denganmu?" tanyanya lirih.

"Mungkin, aku akan mempertimbangkan Asrul, ayo! Mereka sudah menunggu." Seminar telah usai, Karin beranjak dan menarik tangan Olil.

Aku mencintai-Nya dengan terang-terangan. Tapi cinta kepadamu kusembunyikan begitu rapat. Benar-benar seperti pecundang.

Olil tersenyum haru, cinta yang tersembunyi menjadi terlihat ketika dia lebih mencintai penciptanya dari pada yang diciptakan.

#RNue
#ODOP_Batch3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Lupakan Aku

Met Milad Kak Rita

Teman yang Bagaimana Kamu?