Kara (2)


Hari yang melelahkan, Kara terlihat syok. Kasihan sekali wanita ini dia baru keluar dari ruangan Pak Lin, mungkin kena teguran lagi.

'Pak Lin datar, kesalahan orang tampak kesalahan dia tak tampak. Aku terus disalahi, padahal kerjaan itu dia yang suruh. Udah sore juga udah waktunya karyawan pulang. Aku masih disuruh kerja, giliran salah di SP. Dasar datar!' gerutu hati Kara tak karuan, dia berkemas dan bersiap untuk pulang.

Menjadi penghuni terakhir di kantor sudah menjadi hal yang lumrah baginya. Dia dan Pak Lin memang karyawan dan atasan yang kompak tapi sayang setiap kesalahan selalu dilimpahkan ke Kara. Memang atasan tak pernah salah dan itu hukum mutlak di setiap perusahaan. Bos selalu benar begitulah istilahnya.

Kara bergegas ke parkiran, langkahnya terhenti pada sebuah motor matic bercorak sapi berwarna pink putih. Pinky Cow, masih setia menunggu dengan sabar. Teman kesayangan, selalu ada buat Kara, menunggunya pulang dan mengantar ke mana pun gadis pirang ini pergi.

"Oke, Pinkcow! hari ini kita ke bukit, aku mau membuang penat yang sudah dimuntahkan bos datar itu. Aku mau menjerit sepuas-puasnya di sana. Terserah orang mau berkata apa, yang penting puas dan sakit hati ini hilang."

Pinky Cow berjalan mulus melintasi jalanan raya, Medan berayan, Lapangan Merdeka. Ketika di lampu merah, gadis berhelm pink ini berhenti. Ada Razia polisi, tapi dia santai karena atributnya lengkap.

Salah satu polisi menghampiri, "bisa lihat sim anda, Nona?" tanyanya.

Kara melirik, cuek tidak peduli. Matanya terus menatap ke lampu lalu lintas yang masih berwarna merah. Angka enam puluh tertera di sana.

"Ehem, bisa saya lihat SIM anda? Mari menepi sebentar," ajaknya.

"Saya lengkap loh, Pak. Liat! Pake helm, pake jaket,  pake masker. Masa bapak curiga dengan penampilan saya begini. Seharusnya saya tidak dirazia!" emosinya meledak, mungkin masih terbawa dari ruangan Pak Lin.

"Loh, saya cuma melihat SIM anda, kenapa anda marah-marah, kalau lengkap tunjukkan kepada saya! ujar polisi bernama Ichsan terlihat dari badge name di dada kirinya.

"Ishh ... sebentar saya menepi," rutuk Kara menggeser Pinky cow ke trotoar.

"Kara Raihana Ferguson sasmith, oke kamu lengkap, pajak STNK gak mati, SIM gak mati." Ichsan memeriksa kartu-kartu yang disodorkan Kara.

"Kan udah saya bilang, sini! Saya mau pulang sebentar lagi maghrib, gara-gara kamu saya telat." Kara mendengus kesal kepada polisi ganteng itu.

Badannya tinggi, kulitnya putih, hidungnya mancung. Tapi sayang ketampanannya tak akan meredakan emosi Kara yang sudah menumpuk sejak berada di kantor.

"Terima kasih, Kara. Hati-hati di jalan jangan lupa baca doa ya. Tapi lampunya masih merah, sekitar lima belas detik lagi kamu bisa jalan."

"Kara? sejak kapan kamu  ... ah sudahlah, dari SIM. Sama-sama!" Matanya tetap terpaku ke lampu jalan yang sekarang sudah berkurang menjadi sepuluh detik.

Polisi Ichsan hanya tersenyum. 'Perempuan aneh, tapi aku penasaran. Kutunggu kamu setiap saat di jalan ini, aku ingin mengenalmu lebih dekat. Kara, pempuan pirang bermasker!' sergahnya dalam hati, lalu beranjak pergi memeriksa kendaraan lain.

Kara meliriknya, polisi aneh gara-gara kamu aku gak jadi ke bukit, kekesalan ini! Bagaimana akan kuhamburkan?! Matanya mulai berembun.

Air mata, yang menetes di sepanjang perjalanan menuju rumah berhasil membuatnya lebih tenang. Akhirnya senjata yang paling ampuh itu keluar. Sudah dari tadi dia menahan dan ingin melepaskannya di bukit tempat biasa menghilangkan kesal. Tapi tertahan oleh polisi songong dari pada ganteng itu menurutnya.

Kara melepas helm dan masker, dia menghembuskan napas kasar, bersandar di sofa dan masih berpikir. Minggu depan ke Jakarta, tugas menanti lagi. Kenapa harus aku? Sial, belum ada persiapan. Huft! Seandainya mama ada di sini. Matanya mulai berembun dia pun tertidur.

Mamanya di Palembang, sedangkan papi di Belanda, dia gadis blasteran Belanda yang saat ini tinggal di Medan. Orangtuanya sudah lama bercerai dan sekarang hidup masing-masing. Di usia tujuh belas tahun Kara di bawa papi ke Belanda karena ada suatu masalah,  tapi Mama menyuruhnya pulang karena merasa sepi. Di usia dua puluh tahun dia menuruti permintaan mama.

Mama menikah lagi dengan seorang duda keturunan Jawa yang anaknya banyak. Kara, merasa tersisihkan kemudian dia pergi ke Medan. Sekarang usianya dua puluh tujuh tahun, dia tidak punya teman hanya bisa menyendiri. Dan ketika ada masalah dilepaskannya ke bukit lawang bersama pinkcow.

***

"Sayang, bangun! Kamu mimpi lagi?" tanya Dzaki cemas, melihat istrinya gelisah dalam tidur. Badannya penuh peluh.

Za, tersadar dan terkejut, tatapannya beku melihat Dzaki lalu memeluknya. "Aku sayang kamu, Mas! Aku tak ingin kehilanganmu," isak Za ketakutan.

"Tidak akan Humairahku, kamu itu bidadari dunia dan surgaku," ucap Dzaki lembut.

Mata mereka beradu, saling bersitatap dan kecupan manis mendarat di kening Za.

"Ya sudah, kamu tidur lagi ya. Jangan lupa baca doa ya, Mas akan qiyaumul lail," ujar Dzaki beranjak.

Za beringsut manja ke dada bidang Dzaki, ditatapnya lagi mata lelakinya. 'Mata bening ini aku takut kehilangannya,' hatinya berisik

"Kita solat bareng, Mas." Dia mengeratkan dekapannya ke dada Dzaki.

Lelaki bermata coklat bening ini membalas, membelai rambut panjang wanitanya dan berkata, "tak cukup waktuku memelukmu, sayang. Waktu subuh mulai mendekat. Sekiranya waktu akan berhenti pelukan ini tak akan berhenti, tapi apakah kita akan berpelukkan terus. Kapan solatnya?" tanya Dzaki tersenyum, mata teduhnya menghipnotis sang istri.

Za mendongak, tersenyum dan bersemu. Kedua pipinya seperti tomat masak. Tanpa berkata pelukan dilepaskannya dan dia beranjak ke kamar mandi.

"Loh loh, kok kamu duluan sih, Mas sudah kebelet tau ....  "

Za tersenyum nakal dan berlari ke kamar mandi. Dzaki menyusul, tapi sayang sudah terkunci.

"Awas kamu ya! Hahaha ...," ancam Dzaki tertawa.

Bersambung...

#RNue
#TantanganCerbung
#ODOP_Batch3

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Lupakan Aku

Met Milad Kak Rita

Teman yang Bagaimana Kamu?