Tragis

"Jangan pergi, Kak!" cegah Pilar, dia berlari-lari kecil mengejarku. Kaki yang sudah melangkah jauh terhenti, aku pun menoleh. Tubuh kurusnya menghambur memelukku.

"Kakak harus pergi, Dik! Kakak harus ke kota. Kalau kakak tetap di sini, bagaimana bisa kakak akan mendapatkan uang untuk membayar biaya sekolahmu yang sudah menunggak?" Aku berkata dengan wajah memerah karena kesal dengan sikap Pilar yang selalu mencegahku untuk pergi.

Tak tahan bulir-bulir halus yang keluar dari kelopak matanya menjalar ke pipi. Dalam isakkanya dia berkata, "tapi, Kak. Jika tidak ada Kakak di sisiku, aku gak bisa hidup sendiri di sini, di kampung ini. Kalau begitu aku tidak mau sekolah." Tangisnya pecah di balik tangan yang menutupi wajahnya.

Aku pun mulai berpikir, bagaimana caranya agar Pilar bisa terus sekolah tanpa harus kutinggalkan. Tapi tawaran kerja di kota tak bisa diabaikan begitu saja, itu kesempatanku untuk mendapatkan uang.

"Kamu harus bisa, Dik. Ingat! Ibu dan ayah sudah meninggal jadi kita harus bisa hidup mandiri tanpa terus bergantung dengan orang lain." Pikiranku pun mentok untuk pergi.

"Kakak janji tidak akan pergi lama? Kakak pasti akan pulangkan?" ratapnya yang membuat jantungku semakin teriris. Tangisnya semakin keras dan tak berdaya melepas kepergianku.

Hening, terdengar beberapa deru kendaraan yang lewat. 

"Ya! Kakak berjanji akan pulang secepatnya. Kakak pasti akan kembali membawa uang dan bisa membayar uang sekolahmu, Kakak janji! Kamu baik-baik di sini ya ...?"

Tak ada jawaban, hanya isaknya yang merintih dengan sesenggukkan kecil tertahan. 



Aku pergi meninggalkan Pilar yang mematung. Kini dia sudah kelas enam SD. Kuberharap dia bisa mengurus keperluannya sendiri.

Tiba di persimpangan aku menoleh. Masih tak tega meninggalkannya dalam tangis, dia berlari sambil menempelkan lengan kanannya ke wajah.  Pikiranku mulai kalut, ingin kususul Pilar. Hatiku berontak! Langkahku semakin cepat tak karuan.

"Brakk!!" Benda keras menyenggolku dengan kasar. Tak terasa apa-apa aku hanya terbang dan terhempas. Saat itu hanya satu yang kuingat.

"Adikku" ucapku lirih. Wajahnya sekejap membayang. Kepalaku terasa dingin seperti ada sesuatu yang mengalir deras mengenai telinga dan tengkuk. Seketika suasana menjadi gelap. Aku pun tidak merasakan apa-apa. 

#RNue
#ODOP_Batch3

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Met Milad Kak Rita

Aku yang Bukan Aku

Cinta Tak Harus Memiliki