Cinta

Aku seorang wanita biasa yang terlahir dari keluarga sederhana. Pekerjaanku sebagai resepsionis di sebuah hotel. Biasa saja memang tidak seperti mereka seorang Guru , Bidan , PNS, Pegawai Bank , Karyawan Kantoran dan lain-lain.

Hmmm ... ingin sekali seperti mereka. Beginilah aku, seorang Cinta yang apa adanya. Harus kujalani dengan semangat .

Kamu segalanya .... 

Tak terpisah oleh waktu biarkan bumi menolak ku tetap cinta kamu.

Biar mamamu tak suka papamu juga melarang walau dunia menolak ku tak takut tetap kukatakan kucinta dirimu. 

Lagu itu, persis seperti kisah cintaku dengan seseorang yang ... entahlah! saat ini enggak tau dianggap sebagai apa.

Klik.

"Cinta, kok kamu matikan lagunya? aku kan suka lagu itu!" seru temanku dengan sedikit kesal.

Aku hanya berlalu dan tidak menghiraukannya. Beginilah kami kalau tidak ada tamu hanya bisa nonton, dengar musik, baca novel dan lain-lain. Bosan!

Sudah jangan kau usik lagi

Cinta yang tertanam di hati 

Akan kubawa sampai mati ... 

Kamu segalanya ..... 

Lagu itu, pasti di putar lagi oleh Ana. aku hanya diam.

Ana, dia sahabatku, masa putih abu abu kami lalui bersama dan dia lah yang memperkenalkanku dengan Revan di masa itu. Revan adalah temannya dari sekolah lain yang sekarang entah siapa bagiku tidak jelas. Tapi dia masih menganggap aku sebagai kekasihnya.

Kekasih yang tidak disetujui oleh orangtuanya. Hampir tiga tahun sudah kami menjalani hubungan secara diam-diam karena orang tua Revan tak suka anaknya pacaran. Sebenarnya bukan tidak suka tetapi besar harapan ibunya agar dia fokus kuliah dan mengejar cita-citanya.

Namanya juga anak muda, bagi kami pasti ada yang membuat semangat untuk melakukan sesuatu. Jika hal itu dilakukan bersama atau disemangati oleh orang yang disayang.

Seperti sekarang misalnya di saat aku sedang bosan dengan pekerjaanku, aku bisa BBM atau teleponan dengan dia. Revan selalu ada untukku dan melengkapi hari-hariku .

Tapi akhir-akhir ini aku sedang malas berbicara ataupun bertatap muka dengannya. Bahkan aku ingin menjauhi dia. Bagaimana tidak, kmarin ibunya datang mencariku kelihatannya dia sedang marah-marah kata seseorang yang bertemu dengannya.

Oh Tuhan, ada apa dengan ibunya? Untung saja aku tidak bertemu.

Aku pusing tujuh keliling, apa yang harus aku lakukan dengan hubunganku sekarang. Revan juga sudahku katakan fokus saja dengan cita citamu enggak usah ketemu aku, enggak usah telepon atau BBM aku.

Tapi tetap saja dia tidak mau apa yang di lihatnya dariku. Kalau jodoh pasti ketemu.

"Hey , kamu lagi ngelamunin apa ?" tanya Ana yang dari tadi asik mendengar lagu Judika sekarang fokus kepadaku .

"Revan," jawabku datar.

"Oh, aku angkat tangan deh kalau soal Revan" dia pun pergi ke toilet

'Dasar! selalu saja dia begitu,' batinku.

Kalau soal Revan dia sudah menyerah memberiku solusi. Solusinya cuma satu yaitu aku harus melupakan Revan dengan cara pulang ke kampungku.

Aku keberatan. Karena dari SMA aku sudah tinggal di sini, ngekost di sini , sekolah di sini , bekerja di sini dan aku berjanji kepada orang tuaku akan hidup mandiri.

Jam lima sore , aku bergegas pulang ke kost tetapi di persimpangan jalan sudah ada Revan yang menunggu.

Aku menghindar dan pergi melewati jalan lain. Tetapi dia mengikutiku dengan motor maticnya.

Di sepanjang jalan dia mengikutiku, aku berhenti dan menoleh.

"Kamu! kenapa mengikutiku seperti itu?" tanyaku dengan sedikit kesal.

"Aku mau pastikan kamu baik-baik saja sampai ke kostmu," jawabnya

Rasa kesalku hilang. 'Perhatian sekali dia atau jangan-jangan dia mau mengawasiku jikalau ada lelaki lain yang datang menjemput dan jalan denganku,' hatiku berusik.

"Hmmmm ... yaudah ini kan sudah dekat aku bisa jalan sendiri," ucapku melembut.

"Cintaku, kamu kan dari tadi memang jalan sendiri. Aku cuma jalan di belakang dengan motorku, tidak jalan denganmu. Hahaha ...." ujarnya tertawa.

'Cintaku? Dia mulai bercanda sok imut banget dia." Aku membatin

"Iyakah?" Akupun berlalu meninggalkannya.

"Tunggu ...." Cegahnya.

"Kenapa lagi?" kesalku.

Dua tiga kendaraan berlalu di samping kami. Tak sedikit yang memperhatikan.

"Sebenarnya aku mau minta maaf, atas sikap mama kemarin yang datang mencarimu," Sesalnya

"Jujur ya, Revan! Aku sebenarnya malu. Aku seperti buronan oleh mamamu. Buronan yang telah mencuri hati anaknya dan memintanya untuk mengembalikannya. Tapi, karena itu mamamu aku bisa maklum. Mungkin orang tua mana yang tidak ingin melihat anaknya sukses. Pasti ingin sekali, makanya itu dia datang mencariku untuk menjauhi kamu." Bagai gunung yang memuntahkan lahar panasnya, semua unek-unek rasa kesalku meluap.

Aku pun berlalu pergi, sambil menahan tangis meninggalkan Revan yang masih bingung menatapku.

Dalam hati kuberkata, 'kau tahu Revan, dari perkenalan kita dulu bahkan sampai detik ini. Aku sangat mencintaimu dan ingin sekali hidup bahagia bersamamu.'



Waktu terus berlalu, hari-hari kulalui seperti biasa. Revan, tidak mau menjauh dariku walaupun saat itu aku bersikeras agar Revan menjauhiku.

Akhirnya kami putuskan untuk kembali menjalani hubungan seperti biasa "backstreet" akan tetapi ada rasa takut yang menyelimuti. Aku takut ketahuan dengan mamanya.

Karena ketakutanku ini. Kami memutuskan berhubungan hanya melalui ponsel. Tidak pernah ketemu walaupun sedetik.

Jika dia BBM, SMS atau telepon, aku harus selalu membalas dan mengangkatnya itu pintanya. Tanpa dikatakan pun, dengan senang hati aku akan melakukannya.

Seperti biasa aku sibuk dengan pekerjaanku. Revan juga sibuk dengan cita-cita dan harapan mamanya. Hari-hari kami lalui bersama hanya melalui ponsel. Seperi ponsellah pacarku, itu kata Ana.

Embun pagi menyapa manis di kaca jendela kamar. Pagi yang cerah di kampung halaman. Hari ini aku cuti bekerja selama seminggu. Rasa rindu kepada ibu dan ayah membuatku berada di sini.

seperti biasa aku menunggu-nunggu telepon dari Revan tapi dia tidak kunjung menelepon. Aku BBM tetapi tidak ada balasan.

Pikiranku mulai berkecamuk. Apa dia sudah lupa kepadaku? Mentang-mentang keinginannya menjadi polisi sudah tercapai. Apa mungkin ada wanita lain yang akan dijodohkan oleh mamanya?

Semua pertanyaan-pertanyaan itu merasuki alam bawah sadarku. Gelisah, marah, kecewa, sedih, gundah gulana, semua rasa-rasa itu menohok dadaku . Padahal saat itu hanya beberapa jam saja dia tidak ada kabar.

Seharusnya liburan ini aku jalani dengan ceria malah menjadi sebaliknya. Aku hanya mengurung diri di kamar. Pukul satu siang Revan tidak juga membalas BBM atau meneleponku.

Dua jam berlalu. "Tok..tok..tok" suara ketukkan pintu kamar.

"Cinta ...  kok kamu dari tadi di kamar terus, Nak? Kita kedatangan tamu nih, ayo keluar!" Ternyata Ibu memanggilku.

"Iya, Bu ..., " sahutku.

Dengan tidak bersemangat aku bangkit dari tempat tidur. Rasa malas memaksa berlama-lama membuka pintu kamar. Aku berjalan menuju ruang tamu, yang kata ibu ada tamu sedang menunggu.

Langkahku terhenti, nafasku tertahan serasa jantungku berhenti berdetak.

Jleb! Pemandangan apa ini? Revan dan kedua orangtuanya datang, 'ada apa?' pikirku.

Apakah dia memintaku secara resmi untuk menjauhi anaknya dan mengatakan Revan akan menikah dengan jodoh pilihannya.

Aku hanya berdiri seperti patung, pandanganku terpaku pada satu sofa panjang dekat jendela. Tiba-tiba seorang ibu, yang selama ini membuatku merasakan takut dan ingin sekali menghindarinya jika bertemu menghambur memelukku.

"Kamulah calon menantu, Ibu, Nak!" ucapnya membuat isi dunia sedang menimpa kepalaku, tertahan di dada dan membuat tubuhku oyong.

Aku hanya diam membisu tidak habis pikir dan bingung tentunya. Bulir halus mulai membasahi netra.

"Lihat!" Tangannya menunjuk sesosok lelaki putih, tinggi, berwajah oriental dengan memakai seragam patriot negara.

"Revan bisa seperti itu karena kamu, Nak. Ibu sudah tahu dia tidak akan bisa menjauhi kamu. Jadi, Ibu tanamkan di hatinya kalau kamu memang sayang kepada Cinta dan ingin membuat dia bahagia, kejar Cita-citamu.  Nanti setelah kamu sukses kita akan melamar Cinta secepatnya. Kata-kata itu yang membuat Revan semangat untuk belajar dan menjadi sukses seperti ini dan akhirnya kami sebagai orangtua menepati janji untuk datang melamar kamu, Nak."

Aku tidak terlalu mendengar apa yang panjang lebar di katakan mamanya Revan. Yang aku dengar dengan jelas hanya satu kalimat "Kamulah calon menantu Ibu, Nak."

Aku seperti mimpi, kata-kata itu keluar dari seorang wanita yang sangat anti melihatku, membenciku dan sangat ingin memarahiku jika bertemu dengan anaknya.

Tapi sekarang. Kemarahan, kekesalan, keantian dan rasa bencinya. Berubah menjadi kasih sayang yang sangat luar biasa kuterima, seperti halnya kasih sayang ibu kepadaku.

"Senyumnya mana? Tangannya gini, ini gini, terus ini begini."

Cekrek ... cekrek ... cekrek. Suara kamera digital sang fotografer membuatku semakin bahagia.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Met Milad Kak Rita

Aku yang Bukan Aku

Cinta Tak Harus Memiliki